Kamis, 07 Juni 2012

Motivasi Kerja


Motivasi Kerja
Robbins (2008) mendifinisikan motivasi (motivation) sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi tersebut adalah intensitas, arah, dan ketekunan. Intensitas berhubungan dengan seberapa giat seseorang berusaha. Ini adalah elemen yang paling banyak mendapat perhatian ketika membicarakan tentang motivasi. Namun, intensitas yang tinggi sepertinya tidak akan menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kacuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi. Dengan demikian, kita harus mempertimbangkan kualitas serta intensitas upaya secara bersamaan. Upaya yang diarahkan dan konsisten dengan tujuan-tujuan organisasi merupakan jenis upaya yang seharusnya kita lakukan. Terakhir, motivasi memiliki dimensi ketekunan. Dimensi ini merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang bisa mempertahankan usahanya. Individu-individu yang termotivasi bertahan melakukan suatu tugas dalam waktu yang cukup lama demi mencapai tujuan mereka. (Robbins, 2008).
Motivasi kerja memegang peranan penting dalam menentukan berhasil tidaknya seseorang dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepadanya. Menyadari akan pentingnya pengaruh motivasi terhadap prilaku manusia, beberapa ahli telah mengadakan berbagai penelitian tentang motivasi. Adapun penelitian yang telah dilakukan menghasilkan berbagai pengertian tentang motivasi. Mc Gregor dalam Robbins dan Judge (2008:225) menjelaskan teori motivasi dengan teori X dan teori Y. Menurut Teori X, empat asumsi yang dimiliki oleh manajer adalah:
(1)    Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin berusaha untuk menghindarinya;
(2)    Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan.
(3)    Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari perintah formal bila mungkin.
(4)    Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi. (Robbins dan Judge, 2008:226).
Bertentangan dengan pandangan-pandangan negatif mengenai sifat-sifat manusia dalam Teori X, MC Gregor dalam Robbins dan Judge (2008:226) menyebutkan empat asumsi asumsi positif yang disebutnya sebagai Teori Y, yang antara lain :
a)  Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan seperti halnya istirahat dan bermain.
b)  Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan.
c)  Karyawan bersedia belajar untuk menerima, bahkan mencari tanggung jawab.
d)  Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen.
 Teori X ini untuk memotivasi pegawai hendaknya dilakukan dengan cara peningkatan partisipasi pegawai, kerjasama dan keterikatan pada keputusan. Jenis motivasi yang diterapkan adalah motivasi positif. Untuk itu seorang kepala sekolah dituntut konsisten dan melaksanakan apa yang menjadi keputusan bersama dan menggalang partisipasi bawahan. (Robbins dan Judge, 2008:226).
Dari beberapa pernyataan diatas bahwa perilaku yang timbul pada  diri seseorang dalam rangka motivasi sebagai konsep manajemen, didorong oleh adanya kebutuhan. Kebutuhan yang ada pada diri seseorang mendorong seseorang berperilaku. Sikap perilaku seseorang selalu  berorientasi pada tujuan yakni terpenuhinya kebutuhan yang diinginkan. Setiap perilaku yang ditampilkan seseorang dalam organisasi, pasti dalam rangka terwujudnya suatu kepuasan.
Hierarki Kebutuhan Maslow merupakan  suatu teori motivasi manusia yang telah mendapat banyak perhatian pada masa lalu yang dikembangkan oleh Abraham Maslow. Pada teori ini Maslow mengklasifikasikan kebutuhan manusia menjadi lima secara berurutan. Hierarki Maslow ini yang sangat terkenal yaitu:
(1)    Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan yang mendasar yang harus segera dipenuhi, contoh: makan, minum, tempat tinggal dan lain-lain;
(2)    Kebutuhan akan rasa aman, yaitu kebutuhan keamanan dan keselamatan diri maupun ekonomi, masa depan contohnya: keamanan dalam bekerja, keamanan ekonomi di masa depan, dan bebas dari ancaman-ancaman;
(3)    Kebutuhan akan rasa dimiliki dan dicintai, yaitu kebutuhan akan temen, kerja sama, rasa saling cinta mencintai, untuk saling memperhatikan, mencurahkan isi hati dan lain-lain;
(4)    Kebutuhan akan pengakuan diri, yaitu kebutuhan akan penghargaan diri baik dari bawahan, temen atasan, keluarga dan lingkungan, contohnya pujian, tanda penghargaan; dan
(5)    Kebutuhan akan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk menonjolkan diri atau
(6)    menggunakan segala kemampuannya untuk mencapai prestasi yang tinggi. Dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya tersebut seseorang akan berperilaku yang dipengaruhi atau ditentukan oleh pemenuhan kebutuhannya. (Robbins dan Judge, 2008:226).
Teori dua faktor dari Fredrick Herzberg dalam Robbins dan Judge (2008:227) menjelaskan tentang teori dua faktor. Dalam memenuhi kebutuhan ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya rasa  puas atau tidak puas menurut Hezberg, yaitu:
1)  Faktor penyebab ketidak puasan yang disebut faktor hygiene meliputi: gaji, kondisi kerja dan kebijaksanaan organisasi;
2)  Faktor penyebab kepuasan atau faktor yang memotivasi meliputi: prestasi, pengetahuan, tanggungjawab, dan kemajuan.
Teori kebutuhan McClelland dalam Robbins dan Judge (2008:232) (McClelland’s theory of need) dikembangkan oleh David McClelland dan rekan-rekannya. Teori tersebut berfokus pada tiga kebutuhan : pencapaian, kekuatan, kebutuhan dan hubungan. Hal-hal tersebut didefinisikan sebagai berikut:
1)  Kebutuhan pencapaian (need for achievment): dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil.
2)  Kebutuhan kekuatan (need for power): kebutuhan untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya.
3)  Kebutuhan hubungan (need for affiliation): keinginan untuk menjalin suatu hubungan antar personal yang ramah dan akrab.
Beberapa individu memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil. Mereka lebih berjuang untuk memperoleh pencapaian pribadi daripada memperoleh penghargaan. Mereka memilki keinginan untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Dorongan ini merupakan kebutuhan pencapaian (nAch). Dari penelitian terhadap kebutuhan pencapaian, McClelland menemukan bahwa individu dengan prestasi tinggi membedakan diri mereka dari individu lain menurut keinginan mereka untuk melakukan hal-hal dengan lebih baik. Mereka mencari situasi-situasi dimana bisa mendapatkan tanggung jawab pribadi guna mencari solusi atas berbagai maslah, bisa menerima umpan balik yang cepat tentang kinerja sehingga dapat dengan mudah menentukan apakah mereka berkembang atau tidak, dan di mana mereka bisammenentukan tujuan-tujuan yang cukup menantang. Individu berprestasi tinggi bukanlah penjudi, mereka tidak suka berhasil secara kebetulan. Mereka lebih menyukai tantangan menyelesaikan sebuah masalah dan menerima tanggung jawab pribadi untuk keberhasilan atau kegagalan daripada menyerahkan hasil pada kesempatan atau tindakan individu lain. Yang penting, mereka menghindari apa yang mereka anggap sebgai tugas yang sangat mudah atau sangat sulit. Mereka lebih menyukai tugas-tugas dengan tingkat kesulitan menengah. (Robbins dan Judge, 2008:232).
Individu berprestasi tinggi tampil dengan sangat baik ketika mereka merasa kemungkinan berhasil adalah 0,5, yaitu ketika memperkirakan bahwa mereka memiliki kesempatan 50-50 untuk berhasil. Mereka tidak suka berspekulasi dengan ketidaktapatan yang tinggi karena tidak mendapatkan kepuasan pencapaian dari kebehasilan yang kebetulan. Demikian pula, mereka tidak menyukai ketidaktepatan rendah (kemungkinan untuk berhasil) karena nantinya tidak akan ada tantangan untuk keterampilan-keterampilan mereka. Mereka senang menentukan  tujuan-tujuan yang mengharuskan mereka berjuang. (Robbins dan Judge, 2008:232).
Kebutuhan kekuatan (nPow) adalah keinginan untuk memiliki pengaruh, menjadi berpengaruh, dan mengendalikan individu lain. Individu dengan nPow tinggi suka bertanggung jawab, berjuang untuk mempengaruhi indiviu lain, senang ditempatkan dalam situasi yang kompetitif dan berorientasi status, serta cenderung lebih khawatir dengan wibawa dan mendapatkan pengaruh atas individu lain daripada kinerja yang efektif.
Kebutuhan yang ketiga yang dipisahkan oleh McClelland adalah hubungan (nAff). Kebutuhan ini telah mendapatkan perhatian yang paling sedikit ari para peneliti. Individu dengan motif hubungan yang tinggi berjuang untuk persahabatan, lebih menyukai situasi yang kompetitif, dan menginginkan hubungan-hubungan yang melibatkan tingkat pengertian mutual yang tinggi. (Robbins dan Judge, 2008:232).

DAFTAR PUSTAKA

Robbins, S., dan Timothy A. J., 2008, “Perilaku Organisasi, Organizational Behaviour”, Buku Terjemahan, Jakarta : Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar