Motivasi
Kerja
Robbins (2008) mendifinisikan
motivasi (motivation) sebagai proses
yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk
mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi tersebut adalah
intensitas, arah, dan ketekunan. Intensitas berhubungan dengan seberapa giat
seseorang berusaha. Ini adalah elemen yang paling banyak mendapat perhatian
ketika membicarakan tentang motivasi. Namun, intensitas yang tinggi sepertinya
tidak akan menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kacuali upaya tersebut
dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi. Dengan demikian, kita
harus mempertimbangkan kualitas serta intensitas upaya secara bersamaan. Upaya
yang diarahkan dan konsisten dengan tujuan-tujuan organisasi merupakan jenis
upaya yang seharusnya kita lakukan. Terakhir, motivasi memiliki dimensi
ketekunan. Dimensi ini merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang bisa
mempertahankan usahanya. Individu-individu yang termotivasi bertahan melakukan
suatu tugas dalam waktu yang cukup lama demi mencapai tujuan mereka. (Robbins,
2008).
Motivasi kerja memegang peranan penting dalam menentukan berhasil tidaknya
seseorang dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepadanya. Menyadari akan
pentingnya pengaruh motivasi terhadap prilaku manusia, beberapa ahli telah
mengadakan berbagai penelitian tentang motivasi. Adapun penelitian yang telah
dilakukan menghasilkan berbagai pengertian tentang motivasi. Mc Gregor dalam
Robbins dan Judge (2008:225) menjelaskan teori motivasi dengan teori X dan
teori Y. Menurut Teori X, empat asumsi yang dimiliki oleh manajer adalah:
(1) Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan
sebisa mungkin berusaha untuk menghindarinya;
(2) Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka
harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai
tujuan-tujuan.
(3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan
mencari perintah formal bila mungkin.
(4) Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas
semua faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi. (Robbins
dan Judge, 2008:226).
Bertentangan dengan
pandangan-pandangan negatif mengenai sifat-sifat manusia dalam Teori X, MC
Gregor dalam Robbins dan Judge (2008:226) menyebutkan empat asumsi asumsi positif
yang disebutnya sebagai Teori Y, yang antara lain :
a) Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang
menyenangkan seperti halnya istirahat dan bermain.
b) Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai
berbagai tujuan.
c) Karyawan bersedia belajar untuk menerima, bahkan
mencari tanggung jawab.
d) Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif
yang diedarkan ke seluruh populasi dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki
posisi manajemen.
Teori X ini untuk memotivasi pegawai hendaknya dilakukan dengan cara
peningkatan partisipasi pegawai, kerjasama dan keterikatan pada keputusan.
Jenis motivasi yang diterapkan adalah motivasi positif. Untuk itu seorang
kepala sekolah dituntut konsisten dan melaksanakan apa yang menjadi keputusan
bersama dan menggalang partisipasi bawahan. (Robbins dan Judge, 2008:226).
Dari beberapa pernyataan diatas bahwa perilaku yang timbul pada diri seseorang dalam rangka motivasi sebagai
konsep manajemen, didorong oleh adanya kebutuhan. Kebutuhan yang ada pada diri
seseorang mendorong seseorang berperilaku. Sikap perilaku seseorang selalu berorientasi pada tujuan yakni terpenuhinya
kebutuhan yang diinginkan. Setiap perilaku yang ditampilkan seseorang dalam
organisasi, pasti dalam rangka terwujudnya suatu kepuasan.
Hierarki Kebutuhan Maslow
merupakan suatu teori motivasi manusia
yang telah mendapat banyak perhatian pada masa lalu yang dikembangkan oleh Abraham Maslow.
Pada teori ini Maslow mengklasifikasikan kebutuhan manusia menjadi lima secara
berurutan. Hierarki Maslow ini yang sangat terkenal yaitu:
(1) Kebutuhan
fisiologis, yaitu kebutuhan yang mendasar yang harus segera dipenuhi, contoh:
makan, minum, tempat tinggal dan lain-lain;
(2) Kebutuhan
akan rasa aman, yaitu kebutuhan keamanan dan keselamatan diri maupun ekonomi, masa
depan contohnya: keamanan dalam bekerja, keamanan ekonomi di masa depan, dan
bebas dari ancaman-ancaman;
(3) Kebutuhan
akan rasa dimiliki dan dicintai, yaitu kebutuhan akan temen, kerja sama, rasa
saling cinta mencintai, untuk saling memperhatikan, mencurahkan isi hati dan
lain-lain;
(4) Kebutuhan
akan pengakuan diri, yaitu kebutuhan akan penghargaan diri baik dari bawahan,
temen atasan, keluarga dan lingkungan, contohnya pujian, tanda penghargaan; dan
(5) Kebutuhan
akan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk menonjolkan diri atau
(6) menggunakan
segala kemampuannya untuk mencapai prestasi yang tinggi. Dalam usaha untuk
memenuhi segala kebutuhannya tersebut seseorang akan berperilaku yang dipengaruhi atau ditentukan oleh pemenuhan kebutuhannya. (Robbins dan Judge, 2008:226).
Teori dua faktor dari Fredrick
Herzberg dalam Robbins dan Judge (2008:227) menjelaskan tentang teori dua
faktor. Dalam memenuhi kebutuhan ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya
rasa puas atau tidak puas menurut Hezberg,
yaitu:
1) Faktor penyebab ketidak puasan yang disebut faktor
hygiene meliputi: gaji, kondisi kerja dan kebijaksanaan organisasi;
2) Faktor
penyebab kepuasan atau faktor yang memotivasi meliputi: prestasi, pengetahuan,
tanggungjawab, dan kemajuan.
Teori kebutuhan McClelland
dalam Robbins dan Judge (2008:232) (McClelland’s theory of need) dikembangkan
oleh David McClelland dan rekan-rekannya. Teori tersebut berfokus pada tiga
kebutuhan : pencapaian, kekuatan, kebutuhan dan hubungan. Hal-hal tersebut
didefinisikan sebagai berikut:
1) Kebutuhan pencapaian (need for achievment):
dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk
berhasil.
2) Kebutuhan kekuatan (need for power): kebutuhan
untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak
akan berperilaku sebaliknya.
3) Kebutuhan hubungan (need for affiliation):
keinginan untuk menjalin suatu hubungan antar personal yang ramah dan akrab.
Beberapa individu memiliki
dorongan yang kuat untuk berhasil. Mereka lebih berjuang untuk memperoleh
pencapaian pribadi daripada memperoleh penghargaan. Mereka memilki keinginan
untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien dibandingkan
sebelumnya. Dorongan ini merupakan kebutuhan pencapaian (nAch). Dari penelitian
terhadap kebutuhan pencapaian, McClelland menemukan bahwa individu dengan
prestasi tinggi membedakan diri mereka dari individu lain menurut keinginan
mereka untuk melakukan hal-hal dengan lebih baik. Mereka mencari
situasi-situasi dimana bisa mendapatkan tanggung jawab pribadi guna mencari solusi
atas berbagai maslah, bisa menerima umpan balik yang cepat tentang kinerja
sehingga dapat dengan mudah menentukan apakah mereka berkembang atau tidak, dan
di mana mereka bisammenentukan tujuan-tujuan yang cukup menantang. Individu
berprestasi tinggi bukanlah penjudi, mereka tidak suka berhasil secara
kebetulan. Mereka lebih menyukai tantangan menyelesaikan sebuah masalah dan
menerima tanggung jawab pribadi untuk keberhasilan atau kegagalan daripada
menyerahkan hasil pada kesempatan atau tindakan individu lain. Yang penting,
mereka menghindari apa yang mereka anggap sebgai tugas yang sangat mudah atau
sangat sulit. Mereka lebih menyukai tugas-tugas dengan tingkat kesulitan
menengah. (Robbins dan Judge, 2008:232).
Individu berprestasi tinggi
tampil dengan sangat baik ketika mereka merasa kemungkinan berhasil adalah 0,5,
yaitu ketika memperkirakan bahwa mereka memiliki kesempatan 50-50 untuk
berhasil. Mereka tidak suka berspekulasi dengan ketidaktapatan yang tinggi
karena tidak mendapatkan kepuasan pencapaian dari kebehasilan yang kebetulan.
Demikian pula, mereka tidak menyukai ketidaktepatan rendah (kemungkinan untuk
berhasil) karena nantinya tidak akan ada tantangan untuk
keterampilan-keterampilan mereka. Mereka senang menentukan tujuan-tujuan yang mengharuskan mereka
berjuang. (Robbins
dan Judge, 2008:232).
Kebutuhan kekuatan (nPow)
adalah keinginan untuk memiliki pengaruh, menjadi berpengaruh, dan
mengendalikan individu lain. Individu dengan nPow tinggi suka bertanggung
jawab, berjuang untuk mempengaruhi indiviu lain, senang ditempatkan dalam
situasi yang kompetitif dan berorientasi status, serta cenderung lebih khawatir
dengan wibawa dan mendapatkan pengaruh atas individu lain daripada kinerja yang
efektif.
Kebutuhan yang ketiga yang dipisahkan oleh McClelland
adalah hubungan (nAff). Kebutuhan ini telah mendapatkan perhatian yang paling
sedikit ari para peneliti. Individu dengan motif hubungan yang tinggi berjuang
untuk persahabatan, lebih menyukai situasi yang kompetitif, dan menginginkan
hubungan-hubungan yang melibatkan tingkat pengertian mutual yang tinggi. (Robbins dan Judge, 2008:232).
DAFTAR PUSTAKA
Robbins, S., dan Timothy A. J.,
2008, “Perilaku Organisasi, Organizational Behaviour”, Buku Terjemahan, Jakarta
: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar