APAKAH DI KOTA/KABUPATEN ANDA DILAKSANAKAN UJI KOMPETENSI GURU 2012
Mungkin anda yang akan melakukan Uji Kompetensi Guru (UKG) masih bingung di mana mencari sumber untuk menenmukan tempat, lokasi, nomor urut, nomor peserta uji anda. Tidak Usah Bingung, Silahkan anda klik situs di bawah ini :
http://bpsdmpk.kemdikbud.go.id/ukguru/index.php?pg=tempat
Untuk Mencari Lokasi Kota/Kabupaten silahkan pilih dan klik " Kriteria", kemudian pilih kota/kabupaten yang akan anda searcing/cari. Untuk melihat rincian daftar, silahkan klik tanda "KACA PENCARI" di sebelah kanan tabel lokasi sekolah. "Jangan Lupa Mengisi COMMENT ya!!!".
Rabu, 25 Juli 2012
Rabu, 11 Juli 2012
UKG MASALAH ATAU SOLUSI
UJI KOMPETENSI GURU MENJADI MASALAH ATAU SOLUSI
Uji kompetensi guru bakal
menjadi agenda rutin untuk mengetahui level kompetensi setiap guru.
Karena itu, uji kompetensi guru wajib diikuti semua guru sekolah negeri
dan swasta. Uji kompetensi guru (UKG) ini tujuannya untuk
pemetaan kompetensi dan sebagai titik awal penilaian kinerja guru.
"Nanti, UKG ini rutin dilakukan, termasuk untuk syarat kenaikan pangkat
guru. Bisa dilaksanakan empat tahun sekali, misalnya," kata Syawal
Gultom, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan
dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kemdikbud, di Jakarta, Rabu
(25/7/2012).
Syawal mengatakan, UKG secara bertahap pada 30
Juli-12 Agustus nanti dikhususkan untuk guru bersertifikat yang
jumlahnya 1.006.211 orang. Guru bersertifikat ini terdiri dari 908.387
guru pegawai negeri sipil (PNS) dan 97.824 guru tetap yayasan (GTY).
Pada
tahun 2013, UKG dilanjutkan untuk menguji 1.015.087 guru belum
bersertifikat. Para guru ini terdiri dari guru PNS 798.556 orang dan GTY
216.531 orang. Dalam Pedoman UKG 2012 disebutkan, UKG bukan
resertifikasi ulang atau uji kompetensi ulang. UKG juga tidak ditujukan
untuk memutus tunjangan profesi. "Guru diharapkan tidak resisten
pada UKG. Nantinya, UKG akan jadi agenda rutin sehingga guru terbiasa
untuk mengetahui level kompetensinya," kata Syawal. Guru sebagai
profesi seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen perlu pembinaan profesi yang efektif dan efisien.
Hasil UKG ini menjadi data untuk pemetaan kompetensi guru secara detail
yang menggambarkan kondisi obyektif kompetensi, materi, serta strategi
pembinaan yang dibutuhkan guru.
Unifah Rosyidi, Kepala Pusat
Pengembangan Profesi Pendidik Badan Pengembangan Sumber Daya Pendidikan
dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemdikbud, menambahkan,
UKG ini untuk mendorong perilaku guru yang profesional. Pelaksanaan UKG
diutamakan secara online untuk mendorong guru melek teknologi. "Untuk daerah yang teknologinya belum siap, ujian dilakukan secara tertulis," kata Unifah.
Sumber : KOMPAS.COM, Kamis, 26 Juli 2012 | 07:59 WIB
Proses Penyusunan Penilaian Kinerja
Proses Penyusunan Penilaian
Kinerja
Proses penyusunan penilaian kinerja
menurut Mondy dan Noe (1993:398) terbagi dalam beberapa tahapan kegiatan yang
ditunjukkan dalam gambar di bawah ini:
Identifikasi tujuan
Menetapkan standar terhadap suatu
jabatan
Menyusun sistem penilaian kinerja
Menilai kinerja pegawai
Mendiskusikan hasil penilaian dengan
pegawai
Sumber : Mondy dan Noe (1993:398)
Langkah pertama yang harus dilakukan
dalam menyusun sistem penilaian kinerja yaitu harus digali terlebih dahulu
tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi dengan adanya sistem penilaian
kinerja yang akan disusun. Hal ini menjadi penting karena dengan mengetahui
tujuan yang ingin dicapai akan lebih memudahkan dalam menentukan desain
penilaian kinerja.
Langkah yang kedua, menetapkan
standar yang diharapkan dari suatu jabatan, sehingga akan diketahui
dimensi-dimensi apa saja yang akan diukur dalam penilaian kinerja.
Dimensi-dimensi tersebut tentunya harus sangat terkait dengan pelaksanaan tugas
pada jabatan itu. Tahap ini biasanya dapat dilakukan dengan menganalisa jabatan
(job analysis) atau menganalisa uraian tugas masing-masing jabatan. Setelah
tujuan dan dimensi yang akan diukur dalam penilaian kinerja diketahui, maka
langkah selanjutnya yaitu menentukan desain yang sesuai untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Penentuan desain penilaian kinerja ini harus selalu dikaitkan
dengan tujuan penilaian. Hal ini karena tiap-tiap desain penilaian kinerja
memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Sebagai contoh, penilaian
kinerja yang dilakukan untuk menentukan besaran gaji pegawai dengan penilaian
kinerja yang bertujuan hanya untuk mengetahui kebutuhan pengembangan tentunya
memiliki desain yang berbeda.
Langkah berikutnya adalah melakukan
penilaian kinerja terhadap pegawai yang menduduki suatu jabatan. Penilaian
kinerja ini dapat dilakukan oleh atasan saja, atau dengan sistem 360o. Penilaian dengan sistem 360o maksudnya adalah penilaian satu
pegawai dilakukan oleh atasan, rekan kerja yang sejajar/setingkat, dan
bawahannya.
Hasil dari penilaian kinerja, selanjutnya
dianalisa dan dikomunikasikan kembali kepada pegawai yang dinilai agar mereka
mengetahui kinerjanya selama ini serta mengetahui kinerja yang diharapkan oleh
organisasi. Evaluasi terhadap sistem penilaian kinerja yang telah dilakukan
juga dilaksanakan pada tahap ini. Apakah penilaian kinerja tersebut sudah dapat
mencapai tujuan dari diadakannya penilaian kinerja atau belum. Apabila ternyata
belum, maka harus dilakukan revisi atau mendesain ulang sistem penilaian
kinerja.
Metode Penilaian Kinerja
Metode Penilaian Kinerja
Banyak metode dalam penilaian kinerja
yang bisa dipergunakan, namun secara garis besar dibagi menjadi dua jenis, yaitu
past oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang berorientasi
pada masa lalu) dan future oriented appraisal methods (penilaian kinerja
yang berorientasi ke masa depan), (Werther dan Davis, 1996:350).
Past based methods adalah penilaian kinerja atas
kinerja seseorang dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Kelebihannya
adalah jelas dan mudah diukur, terutama secara kuantitatif. Kekurangannya
adalah kinerja yang diukur tidak dapat diubah sehingga kadang-kadang justru
salah menunjukkan seberapa besar potensi yang dimiliki oleh seseorang. Selain
itu, metode ini kadang-kadang sangat subyektif dan banyak biasnya.
Future based methods adalah penilaian kinerja
dengan menilai seberapa besar potensi pegawai dan mampu untuk menetapkan
kinerja yang diharapkan pada masa datang. Metode ini juga kadang-kadang masih
menggunakan past method. Catatan kinerja juga masih digunakan sebagai
acuan untuk menetapkan kinerja yang diharapkan. Kekurangan dari metode ini
adalah keakuratannya, karena tidak ada yang bisa memastikan 100% bagaimana
kinerja seseorang pada masa datang.
Pengkasifikasian pendekatan penilaian
kinerja oleh Wherther di atas berbeda dengan klasifikasi yang dilakukan oleh
Kreitner dan Kinicki (2000). Berdasarkan aspek yang diukur, Kreitner dan
Kinicki mengklasifikasikan penilaian kinerja menjadi tiga, yaitu: pendekatan trait,
pendekatan perilaku dan pendekatan hasil. Pendekatan trait adalah
pendekatan penilaian kinerja yang lebih fokus pada orang. Pendekatan ini
melakukan perankingan terhadap trait atau karakteristik individu seperti
inisiatif, loyalitas dan kemampuan pengambilan keputusan. Pendekatan trait memiliki
kelemahan karena ketidakjelasan kinerja secara nyata. Pendekatan perilaku,
pendekatan ini lebih fokus pada proses dengan melakukan penilaian kinerja
berdasarkan perilaku yang tampak dan mendukung kinerja seseorang. Sedangkan
pendekatan hasil adalah pendekatan yang lebih fokus pada capaian atau produk.
Metode penilaian kinerja yang menggunakan pendekatan hasil seperti metode management
by objective (MBO), (Kreitner dan Kinicki, 2000:303-304).
Metode-metode penilaian kinerja yang
sesuai dengan pengkategorian dua tokoh di atas yang paling banyak digunakan
menurut Mondy dan Noe (1993:402-414) adalah:
Written Essays, merupakan teknik penilaian
kinerja yaitu evaluator menulis deskripsi mengenai kekuatan pekerja,
kelemahannya, kinerjanya pada masa lalu, potensinya dan memberikan saran-saran
untuk pengembangan pekerja tersebut.
Critical Incidents, merupakan teknik penilaian
kinerja yaitu evaluator mencatat mengenai apa saja perilaku/pencapaian terbaik
dan terburuk (extremely good or bad behaviour) pegawai.
Graphic Rating Scales, merupakan teknik penilaian
kinerja yaitu evaluator menilai kinerja pegawai dengan menggunakan skala dalam
mengukur faktor-faktor kinerja (performance factor ). Misalnya adalah
dalam mengukur tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai. Skala yang
digunakan adalah 1 sampai 5, yaitu 1 adalah yang terburuk dan 5 adalah yang
terbaik. Jika tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai tersebut biasa saja,
misalnya, maka ia diberi nilai 3 atau 4 dan begitu seterusnya untuk menilai
faktor-faktor kinerja lainnya. Metode ini merupakan metode umum yang paling
banyak digunakan oleh organisasi.
Behaviourally Anchored Rating
Scales (BARS), merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menilai pegawai
berdasarkan beberapa jenis perilaku kerja yang mencerminkan dimensi kinerja dan
membuat skalanya. Misalnya adalah penilaian pelayanan pelanggan. Bila pegawai
bagian pelayanan pelanggan tidak menerima suap dari pelanggan, ia diberi skala
4 yang berarti kinerja lumayan. Bila pegawai itu membantu pelanggan yang
kesulitan atau kebingungan, ia diberi skala 7 yang berarti kinerjanya
memuaskan, dan seterusnya. Metode ini mendeskripsikan perilaku yang diharapkan
sesuai dengan tingkat kinerja yang diharapkan. Pada contoh di atas, nilai 4
dideskripsikan dengan tidak menerima suap dari pelanggan. Nilai 7
dideskripsikan dengan menolong pelanggan yang membutuhkan bantuan. Dengan
mendeskripsikannya, metode ini mengurangi bias yang terjadi dalam penilaian.
Multiperson Comparison, merupakan teknik penilaian
kinerja yaitu seorang pegawai dibandingkan dengan rekan kerjanya. Biasanya
dilakukan oleh supervisor. Ini sangat berguna untuk menentukan kenaikan gaji (merit
system), promosi, dan penghargaan perusahaan.
Management By Objectives. Metode ini juga merupakan
penilaian kinerja, yaitu pegawai dinilai berdasarkan pencapaiannya atas
tujuan-tujuan spesifik yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan-tujuan ini tidak
ditentukan oleh manajer saja, melainkan ditentukan dan disepakati bersama oleh
para pegawai dan manajer. Setiap metode di atas memiliki kelemahan dan
kelebihannya masing-masing, sehingga tidak baik bagi organisasi untuk
menggantungkan penilaian kinerjanya hanya pada satu jenis metode saja.
Sebaiknya, organisasi menggabungkan beberapa metode yang sesuai dengan lingkup
organisasinya, Mondy dan Noe (1993: 414).
Bias dan Tantangan Penilaian Kinerja
Bias dan Tantangan dalam Penilaian
Kinerja
Penilaian kinerja harus bebas dari
diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian yang dilakukan oleh pihak
manajemen harus adil, realistis, valid, dan relevan dengan jenis pekerjaan yang
akan dinilai karena penilaian kinerja ini tidak hanya berkaitan dengan masalah
prestasi semata, namun juga menyangkut masalah gaji, hubungan kerja,
promosi/demosi, dan penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang sering muncul
menurut Werther dan Davis (1996:348) adalah:
1. Hallo Effect, terjadi
karena penilai menyukai atau tidak menyukai sifat pegawai yang dinilainya. Oleh
karena itu, pegawai yang disukai oleh penilai cenderung akan memperoleh nilai
positif pada semua aspek penilaian, dan begitu pula sebaliknya, seorang pegawai
yang tidak disukai akan mendapatkan nilai negatif pada semua aspek penilaian;
2. Liniency and Severity Effect.
Liniency effect ialah penilai cenderung beranggapan bahwa mereka harus
berlaku baik terhadap pegawai, sehingga mereka cenderung memberi nilai yang
baik terhadap semua aspek penilaian. Sedangkan severity effect ialah
penilai cenderung mempunyai falsafah dan pandangan yang sebaliknya terhadap
pegawai sehingga cenderung akan memberikan nilai yang buruk;
3. Central tendency, yaitu
penilai tidak ingin menilai terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah kepada
bawahannya (selalu berada di tengah-tengah). Toleransi penilai yang terlalu
berlebihan tersebut menjadikan penilai cenderung memberikan penilaian dengan
nilai yang rata-rata.
4. Assimilation and differential
effect. Assimilation effect, yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang
mempunyai ciri-ciri atau sifat seperti mereka, sehingga akan memberikan nilai
yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki kesamaan sifat
dan ciri-ciri dengannya. Sedangkan differential effect, yaitu penilai
cenderung menyukai pegawai yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang tidak
ada pada dirinya, tapi sifat-sifat itulah yang mereka inginkan, sehingga
penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang lainnya;
5. First impression error, yaitu
penilai yang mengambil kesimpulan tentang pegawai berdasarkan kontak pertama
mereka dan cenderung akan membawa kesan-kesan ini dalam penilaiannya hingga
jangka waktu yang lama;
6. Recency effect, penilai
cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku yang baru saja mereka saksikan,
dan melupakan perilaku yang lalu selama suatu jangka waktu tertentu.
Bias dan Tantangan Penilaian Kinerja
Bias dan Tantangan dalam Penilaian
Kinerja
Penilaian kinerja harus bebas dari
diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian yang dilakukan oleh pihak
manajemen harus adil, realistis, valid, dan relevan dengan jenis pekerjaan yang
akan dinilai karena penilaian kinerja ini tidak hanya berkaitan dengan masalah
prestasi semata, namun juga menyangkut masalah gaji, hubungan kerja,
promosi/demosi, dan penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang sering muncul
menurut Werther dan Davis (1996:348) adalah:
1. Hallo Effect, terjadi
karena penilai menyukai atau tidak menyukai sifat pegawai yang dinilainya. Oleh
karena itu, pegawai yang disukai oleh penilai cenderung akan memperoleh nilai
positif pada semua aspek penilaian, dan begitu pula sebaliknya, seorang pegawai
yang tidak disukai akan mendapatkan nilai negatif pada semua aspek penilaian;
2. Liniency and Severity Effect.
Liniency effect ialah penilai cenderung beranggapan bahwa mereka harus
berlaku baik terhadap pegawai, sehingga mereka cenderung memberi nilai yang
baik terhadap semua aspek penilaian. Sedangkan severity effect ialah
penilai cenderung mempunyai falsafah dan pandangan yang sebaliknya terhadap
pegawai sehingga cenderung akan memberikan nilai yang buruk;
3. Central tendency, yaitu
penilai tidak ingin menilai terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah kepada
bawahannya (selalu berada di tengah-tengah). Toleransi penilai yang terlalu
berlebihan tersebut menjadikan penilai cenderung memberikan penilaian dengan
nilai yang rata-rata.
4. Assimilation and differential
effect. Assimilation effect, yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang
mempunyai ciri-ciri atau sifat seperti mereka, sehingga akan memberikan nilai
yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki kesamaan sifat
dan ciri-ciri dengannya. Sedangkan differential effect, yaitu penilai
cenderung menyukai pegawai yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang tidak
ada pada dirinya, tapi sifat-sifat itulah yang mereka inginkan, sehingga
penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang lainnya;
5. First impression error, yaitu
penilai yang mengambil kesimpulan tentang pegawai berdasarkan kontak pertama
mereka dan cenderung akan membawa kesan-kesan ini dalam penilaiannya hingga
jangka waktu yang lama;
6. Recency effect, penilai
cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku yang baru saja mereka saksikan,
dan melupakan perilaku yang lalu selama suatu jangka waktu tertentu.
Pengukuran Kinerja (Performance Measures)
Pengukuran Kinerja (Performance
Measures)
Pengukuran kinerja dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem penilaian (rating) yang relevan. Rating
tersebut harus mudah digunakan sesuai dengan yang akan diukur, dan mencerminkan
hal-hal yang memang menentukan kinerja Werther dan Davis (1996:346). Pengukuran
kinerja juga berarti membandingkan antara standar yang telah ditetapkan dengan
kinerja sebenarnya yang terjadi.
Pengukuran kinerja dapat bersifat
subyektif atau obyektif. Obyektif berarti pengukuran kinerja dapat juga
diterima, diukur oleh pihak lain selain yang melakukan penilaian dan bersifat
kuantitatif. Sedangkan pengukuran yang bersifat subyektif berarti pengukuran
yang berdasarkan pendapat pribadi atau standar pribadi orang yang melakukan
penilaian dan sulit untuk diverifikasi oleh orang lain.
Analisa Data Pengukuran
Setelah menetapkan standar
pengukuran, kemudian mulailah dikumpulkan data-data yang diperlukan. Data-data
dapat dikumpulkan dengan melakukan wawancara, survei langsung, atau meneliti
catatan pekerjaan dan lain sebagainya. Data-data tersebut dikumpulkan dan
dianalisa apakah ada perbedaan antara standar kinerja dengan kinerja aktual.
Elemen Penilaian Kinerja
Elemen Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja yang baik adalah
yang mampu untuk menciptakan gambaran yang tepat mengenai kinerja pegawai yang
dinilai. Penilaian tidak hanya ditujukan untuk menilai dan memperbaiki kinerja
yang buruk, namun juga untuk mendorong para pegawai untuk bekerja lebih baik
lagi. Berkaitan dengan hal ini, penilaian kinerja membutuhkan standar
pengukuran, cara penilaian dan analisa data hasil pengukuran, serta tindak
lanjut atas hasil pengukuran. Elemen-elemen utama dalam sistem penilaian
kinerja Werther dan Davis (1996:344) adalah:
A. Performance Standard
Penilaian kinerja sangat membutuhkan
standar yang jelas yang dijadikan tolok ukur atau patokan terhadap kinerja yang
akan diukur. Standar yang dibuat tentu saja harus berhubungan dengan jenis
pekerjaan yang akan diukur dan hasil yang diharapkan akan terlihat dengan
adanya penilaian kinerja ini.
Ada empat hal yang harus diperhatikan
dalam menyusun standar penilaian kinerja yang baik dan benar yaitu validity,
agreement, realism, dan objectivity.
1. Validity adalah keabsahan
standar tersebut sesuai dengan jenis pekerjaan yang dinilai. Keabsahan yang
dimaksud di sini adalah standar tersebut memang benar-benar sesuai atau relevan
dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai tersebut.
2. Agreement berarti
persetujuan, yaitu standar penilaian tersebut disetujui dan diterima oleh semua
pegawai yang akan mendapat penilaian. Ini berkaitan dengan prinsip validity di
atas.
3. Realism berarti standar
penilaian tersebut bersifat realistis, dapat dicapai oleh para pegawai dan
sesuai dengan kemampuan pegawai.
4. Objectivity berarti standar
tersebut bersifat obyektif, yaitu adil, mampu mencerminkan keadaan yang
sebenarnya tanpa menambah atau mengurangi kenyataan dan sulit untuk dipengaruhi
oleh bias -bias penilai
B. Kriteria Manajemen Kinerja (Criteria
for Managerial Performance)
Kriteria penilaian kinerja dapat
dilihat melalui beberapa dimensi, yaitu kegunaan fungsional (functional
utility), keabsahan (validity), empiris (empirical base),
sensitivitas (sensitivity), pengembangan sistematis (systematic
development), dan kelayakan hukum (legal appropriateness).
a. Kegunaan fungsional bersifat
krusial, karena hasil penilaian kinerja dapat digunakan untuk melakukan
seleksi, kompensasi, dan pengembangan pegawai, maka hasil penilaian kinerja
harus valid, adil, dan berguna sehingga dapat diterima oleh pengambil keputusan.
b. Valid atau mengukur apa yang
sebenarnya hendak diukur dari penilaian kinerja tersebut.
c. Bersifat empiris, bukan
berdasarkan perasaan semata.
d. Sensitivitas kriteria. Kriteria
itu menunjukkan hasil yang relevan saja, yaitu kinerja, bukan hal-hal lainnya
yang tidak berhubungan dengan kinerja.
e. Sistematika kriteria. Hal ini
tergantung dari kebutuhan organisasi dan lingkungan organisasi. Kriteria yang
sistematis tidak selalu baik. Organisasi yang berada pada lingkungan yang cepat
berubah mungkin justru lebih baik menggunakan kriteria yang kurang sistematis
untuk cepat menyesuaikan diri dan begitu juga sebaliknya.
f. Kelayakan hukum yaitu kriteria itu
harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dimensi-dimensi ini digunakan dalam
penentuan jenis-jenis kriteria penilaian kinerja. Adapun kriteria-kriteria
tersebut adalah people-based criteria, product-based criteria,
behaviour-based criteria.
People-based criteria dibuat berdasarkan dimensi
kegunaan fungsional sehingga banyak digunakan untuk selection dan
penentuan kompensasi. Kriteria ini dibuat berdasarkan penilaian terhadap
kemampuan pribadi, seperti pengalaman, kemampuan intelektual, dan keterampilan.
Product-based criteria biasanya dianggap lebih baik
daripada people -based criteria. Kriteria ini didasarkan atas tujuan
atau jenis output yang ingin dicapai.
Behaviour-based criteria mempunyai banyak aspek, bisa
dari segi hukum, etika, normatif, atau teknis. Kriteria ini dibuat berdasarkan
perilaku-perilaku yang diharapkan sesuai dengan aspek-aspek tersebut.
Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja
Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja menurut Werther dan
Davis (1996:342) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi dan
pegawai yang dinilai, yaitu:
1. Performance Improvement.
Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil tindakan yang
berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2. Compensation adjustment.
Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa saja yang berhak
menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3. Placement decision.
Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4. Training and development needs mengevaluasi
kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih
optimal.
5. Carrer planning and development.
Memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir yang dapat dicapai.
6. Staffing process deficiencies.
Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7. Informational inaccuracies and
job-design errors. Membantu menjelaskan apa saja kesalahan yang telah
terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama di
bidang informasi job-analysis,
job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia.
8. Equal employment opportunity.
Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
9. External challenges.
Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti
keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain-lainnya. Biasanya faktor ini
tidak terlalu kelihatan, namun dengan melakukan penilaian kinerja,
faktor-faktor eksternal ini akan kelihatan sehingga membantu departemen sumber
daya manusia untuk memberikan bantuan bagi peningkatan kinerja pegawai.
10. Feedback. Memberikan umpan
balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu sendiri.
Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja
Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja menurut Werther dan
Davis (1996:342) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi dan
pegawai yang dinilai, yaitu:
1. Performance Improvement.
Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil tindakan yang
berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2. Compensation adjustment.
Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa saja yang berhak
menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3. Placement decision.
Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4. Training and development needs mengevaluasi
kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih
optimal.
5. Carrer planning and development.
Memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir yang dapat dicapai.
6. Staffing process deficiencies.
Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7. Informational inaccuracies and
job-design errors. Membantu menjelaskan apa saja kesalahan yang telah
terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama di
bidang informasi job-analysis,
job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia.
8. Equal employment opportunity.
Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
9. External challenges.
Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti
keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain-lainnya. Biasanya faktor ini
tidak terlalu kelihatan, namun dengan melakukan penilaian kinerja,
faktor-faktor eksternal ini akan kelihatan sehingga membantu departemen sumber
daya manusia untuk memberikan bantuan bagi peningkatan kinerja pegawai.
10. Feedback. Memberikan umpan
balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)