(1)
Pengertian Turnover
Intention
Pergantian karyawan atau keluar masuknya
karyawan dari organisasi adalah suatu fenomena penting dalam kehidupan
organisasi. Ada kalanya pergantian karyawan memiliki dampak positif. Namun
sebagian besar pergantian karyawan membawa pengaruh yang kurang baik terhadap
organisasi, baik dari segi biaya maupun dari segi hilangnya waktu dan
kesempatan untuk memanfaatkan peluang
Tet dan Meyer (1993) dalam Rodly (2012) telah
memberikan definisi intention to leave
yaitu niat karyawan untuk meninggalkan organisasi sebagai sadar dan hasrat
disengaja dari karyawan untuk meninggalkan organisasi. Menurut Harninda (1999)
“Turnover intentions pada dasarnya adalah sama dengan keinginan
berpindah karyawan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya.” Pendapat
tersebut menunjukkan bahwa turnover intentions adalah keinginan untuk
berpindah, belum sampai pada tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan dari
satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya.
Harnoto (2002:2) menyatakan: “Turnover
intentions adalah kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari
perusahaan, banyak alasan yang menyebabkan timbulnya turnover intentions ini
dan diantaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.”
Pendapat tersebut juga relatif sama dengan pendapat yang telah diungkapkan
sebelumnya, bahwa turnover intentions pada dasarnya adalah keinginan
untuk meninggalkan (keluar) dari perusahaan.
(2)
Indikasi Terjadinya Turnover Intentions
Menurut Harnoto (2002:2): “Turnover
intentions ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara
lain: absensi yang meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk
melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada
atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan
yang sangat berbeda dari biasanya.” Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan
sebagai acuan untuk memprediksikan turnover intentions karyawan dalam sebuah
perusahaan.
1) Absensi yang meningkat. Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya
ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab karyawan
dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya.
2)
Mulai malas bekerja.
Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja,
akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat
lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan
bersangkutan.
3)
Peningkatan terhadap pelanggaran tatatertib
kerja. Berbagai pelanggaran terhadap
tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan
melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam
kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya.
4)
Peningkatan protes terhadap atasan.
Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja,
lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada
atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa
atau aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan.
5) Perilaku positif
yang sangat berbeda dari biasanya. Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif.
Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang
dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda
dari biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover.
1.1.1. Faktor
Yang Mempengaruhi Turnover Intention
Mobley et al (1986) dalam Rodly (2012) menyatakan
bahwa banyak faktor yang menyebabkan karyawan berpindah dari tempat kerjanya
namun faktor determinan keinginan berpindah diantaranya adalah :
1)
Kepuasan Kerja
Pada tingkat individual, kepuasan
merupakan variabel psikologi yang paling sering diteliti dalam suatu model
intention to leave. Aspke kepuasan yang ditemukan berhubungan dengan keinginan
individu untuk meninggalkan organisasi meliputi kepuasan akan upah dan promosi,
kepuasan atas supervise yang diterima, kepuasan dengan rekan kerja dan kepuasan
akan pekerjaan dan isi kerja.
2)
Komitmen organisasi
Karena hubungan kepuasan kerja dan
keinginan menginggalkan tempat kerja hanya menerangkan sebagian kecil varian
maka jelas model proses intention to leave karyawan harus menggunakan variabel
lain di luar kepuasan kerja sebagai satu-satunya variabel penjelas.
Perkembangan selanjutnya dalam studi intention
to leave memasukkan konstruk komitmen organisasional sebagai konsep yang
turut menjelaskan proses tersebut sebagai bentuk perilaku, komitmen
organisasional dapat dibedakan dari kepuasan kerja. Komitmen mengacu pada
respon emosional (affective) individu
kepada keseluruhan organisasi, sedangkan kepuasan mengarah pada respon
emosional atas aspek khusus dari pekerjaan.
Menurut Griffet (1995) dalam Rodly (2012) bahwa
Hampir semua model intention to leave
dikarenakan oleh tingkat kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang rendah,
yaitu :
1)
Kepuasan kerja adalah sikap yang
paling berpengaruh terhadap intention to leave. Hasil studi menunjukkan bahwa
kepuasan kerja berkaitan erat dengan proses kognisi menarik diri (pre withdrawal cognition), intensi untuk
pergi dan tindakan nyata berupa keputusan untuk keluar dari tempat kerja.
2)
Komitmen organisasi adalah faktor
yang paling berpengaruh terhadap terjadinya intention to leave dibanding
kepuasan kerja.